Selasa, 15 Maret 2011

Menteri Gagal, Harus Legowo Mengundurkan Diri

Ada sebuah pertanyaan dari seorang penanya mengenai karakter pemimpin di tanah air ini. Dari zaman Presiden Sokarno hingga Presdien SBY, pemimpin itu dilahrikan oleh sejarah atau sejarah melahirkan pemimpin? Jawabannya dua hal tersebut bisa terjadi pada seorang pemimpin. Contoh dibarat ada Lenin dan Indonesia ada Soekarno dan Soeharto yang dianggap mempunyai sejarah pemimpin terhadap pembanguan di tanah air. Perisitiwa-peristiwa besar bisa melahirkan seorang pemimpin dimasa yang akan datang. Ironisnya peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa sekarang belum mampu melahirkan sejarah pemimpin atau pemimpin melahirkan sejarah. Lebih lanjut pemimpin yang ada pada saat ini tidak mampu menciptakan keduanya.
Public memang tidak meragukan integritas Presiden saat ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun yang jauh merosot adalah tingakat kewibawaan presiden akibat persepsi bahwa SBY kurang desicive, kurang determinan, kurang “berani mengambil resiko” untuk mengangkat kehidupan rakyat. Terlebih terkait gonjang ganjing reshuffle yang hanya menjadi hisapan jempol belaka. Banyak publik berharap ada ketegasan yang diambil SBY saat berpidato. Masyarakat berharap ada perubahan didalam pemilihan menteri berdasarkan kemampuan bukan karena persolan koalisi ataupun titipan nama yang diajukan masing-masing partai.
Bila pun harus terjadi reshuffle nantinya, yang pertama menjadi patokan adalah kinerja para menteri, lalu persoalan politik yang berkaitan dengan koalisi partai harus sesuai dengan sistem pemerintahan yang kita anut yaitu presidensial. Jadi ada koalisi ataupun tidak adanya koalisi sebetulnya presiden tidak boleh tersandara oleh koalisi yang dilakukan diparlemen. Posisi ini sekan membuat posisi presiden terjebak didalam permainan koalisi di dalam setgab. Sesungguhnya kabinet sistem presidensial tidak cocok dengan sistem multi partai yang ada di negara ini.
Banyak kelemahan didalam pelaksanaannya, tetapi ada juga yang menuju sukses. Persoalan yang muncul mau tidak presiden mengegakkan sistem presidensial itu. Semua balik kepada mereka yang memegang kekuasaan ataupun pemegang kebijkan dalalam hal ini yaitu lembaga DPR dan MPR. Kalau kita ingin menerapkan sistem presidensial maka presiden harus kuat memgang kendali pemerintahan, tidak boleh dimainkan oleh parlemen. Oleh karenanya, siapapun presidennya ketika kebijakan pemerintah yang pro rakyat dibuka dipublik, maka dengan sendirinya rakyat bisa melihat dan menilai. Yang mana yang benar dan mana yang salah.
Jadi sistem yang ada pada saat ini boleh dibilang “ngaco” tidak sesuai dengan apa yang kita tetapkan. Siapapun presidennya, kala memilih dan menetapkan menteri sesuai dengan sistem kabinet ahli, jangan memilih orang-orang yang tidak ahli. Akbiatnya seperti ini, banyak ketua partai yang memaksakan diri menjadi menteri, sedangkan mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sejalan dengan instansi yang mereka pegang saat ini. The right man on the right place, kalau ada orang diluar partai yang mempunyai wawasan yang luas, kenapa tidak ditempatkan sesuai bidangnya. Tidak terlalu silit mencari orang cerdas dan mempunyai pengalaman di negeri ini.
Jelas keputusan ini bisa disalahkan, presiden seakan dimainkan oleh partai pedukungnya. Kalau memang presiden menginginkan orang dari partai pendukungnya, silahkan meminta stock kepada partai untuk menyiapkan orang-orang yang pas mengisi pos kementrian. Seperti halnya zaman Seokarno, Soeharto bisa melakukan hal ini untuk mendapatkan orang-orang yang pas dibidangnya. Akan tetapi semua ini dilakukan berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk melakukan reshuffle. Bukan karena persolan partai yang berlawanan pemikiran.
Untuk itu pemenggilan beberpa ketua partai membahas masa depan koalisi di pemerintahan, hal ini sesuatu hal yang beretika. Tetapi kalau ketua umum hanya untuk melakukan bargaining politik ini yang tidak diinginkan, memang semua hak priogratif ada pada presiden. Semua ini balik lagi ke presiden, karena kekuasaan tidak ada intervensi dari pihak lain. Bila kebijkan ini sesuai dengan aturan, kenpa harus takut, berlama-lama menggantungkan persolan reshuffle kala itu. Yang ditakutkan, persoalan ini akan terjadi kepentingan-kepentingan yang diakomodasikan.
Memang kisruh reshuffle di Indonesia selalu identik dengan pergantian menteri secara rombongan. Seharusnya pergantian menteri itu bisa kapan saja menurut kebutuhan dan tidak menunggu kesalan berkalai-kali baru pasrah untuk diganti. Hal ini lah yang tidak pernah dibiasakan pemimpin untuk bertanggungjawab atas peristiwa besar di bidangnya. Kalau hal ini diterapkan, pastinya semua akan bekerja secara baik dan penuh tanggungjawab.

Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
Copyright © boediman achmad sudarsono
Blogger Theme by BloggerThemes