Rabu, 09 Maret 2011

Problem Dalam Evaluasi Prolegnas

Pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (dikenal dengan istilah UU MD3) pada 3 Agustus 2009, membuat adanya satu set aturan main baru dalam proses legislasi. Katakanlah, atas rujukan UU tersebut, DPD kini juga dimungkinkan untuk mengikuti pembahasan RUU tertentu pada seluruh tahapan tingkat I, mulai dari Panitia Khusus, Panitia Kerja, sampai memberikan pandangan mini. Padahal sebelumnya, anggota DPD hanya bisa mengikuti pembahasan RUU tertentu hanya pada awal tingkat I, seperti layaknya sebuah LSM.
Dari segi transparansi juga perlu diingat adanya perubahan signifikan yang diatur oleh UU MD3 mengenai sifat keterbukaan rapat. UU MD3 mengatur bahwa semua rapat di MPR, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan secara terbuka, kecuali jika rapat-rapat itu dinyatakan tertutup. Hal itu tentunya berbanding terbalik dengan pengaturan sebelumnya dalam Tata Tertib DPR lama, yaitu pada dasarnya Rapat Panitia Kerja (Panja) bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Dalam proses legislasi, soal keterbukaan rapat merupakan satu isu yang krusial, terutama dalam keterkaitannya dengan pelibatan dari para pemangku kepentingan.
Jangka waktu pembahasan RUU pun kini diberikan batasan paling lama dua masa sidang dan hanya dapat diperpanjang paling lama satu kali masa sidang. Upaya pembenahan seperti itu diharapkan akan mengefektifkan pola kerja pembahasan RUU di DPR sehingga tidak ada lagi suatu RUU yang dibahas selama bertahun-tahun tanpa kejelasan penuntasannya.
DPR juga sudah mulai mencoba membangun suatu sistem untuk menyelesaikan masalah distribusi beban kerja para anggota dalam kinerja legislasi. Pada periode sebelumnya, soal beban kerja legislasi yang menunmpuk menjadi suatu kendala bagi para anggota DPR untuk bisa fokus dan berkontribusi optimal pada pembahasan suatu RUU. Kini, sudah diatur batas bagi setiap anggota DPR yaitu untuk membahas maksimal tiga RUU pada waktu yang bersamaan, kecuali untuk RUU mengenai pembentukan dan pemekaran serta penggabungan, pembentukan pengadilan tinggi, ratifikasi perjanjian internasional, dan RUU paket.
Tentunya beberapa perkembangan positif dalam proses legislasi tersebut harus direspons positif dan dengan harapan-harapan baru. Lembaga perwakilan tidak boleh melulu terjebak dalam kendala dan hambatan yang sama sejak satu dasarwarsa lalu. Lembaga perwakilan haruslah responsif dan sensitif terhadap dinamika kemasyarakatan.
Namun, hingga akhir tahun 2010, dari 70 RUU prioritas tersebut, dengan kategori 36 RUU berasal dari inisiatif DPR dan 34 RUU dari Pemerintah, DPR hanya mampu menyelesaikan dan mensahkan 17 (tujuh belas RUU). Dengan kategori yakni 8 (delapan RUU merupakan hasil prolegnas dan 9 (sembilan) RUU lainnya merupakan usulan kategori non-prolegnas atau RUU Kumulatif Terbuka. Bahkan, penambahan RUU di tengah jalan dalam prioritas prolegnas sebanyak 17 RUU, (maksudnya 15 RUU tambahan, dan dikeluarkan 2 RUU tapi 2 RUU diajukan), hanya berhasil disahkan 2 (dua) RUU saja yakni Revisi RUU Holtikultura dan Revisi RUU Cagar Budaya.


Berdasarkan capain tersebut jika dilihat waktu pemrosesan dari RUU menjadi UU, dapat dikatakan sejak 1 Oktober 2009-31 Desember 2010, proses legislasi ini dapat diartikan sebagai keberhasilan Partai Demokrat mendominasi kursi di Parlemen pada Pemilu 2009, dan menjadi Ketua Badan Legislasi Nasional (Baleg) DPR, jika dibandingkan dengan tahun 2005, yang mana Partai Demokrat merupakan Partai keempat terbesar pada Pemilu 2004 lalu.


Namun, tak bisa dimungkiri, capaian penyelesaian RUU oleh DPR pada tahun 2010 itu sangat ironis karena alokasi anggaran untuk setiap RUU naik 10 lipat dibanding tahun 2005. Pada tahun 2005 anggaran pembahasan setiap RUU sebesar Rp. 560 juta, sedangkan pada tahun 2010 menjadi Rp. 5,8 milyar (dari 10 RUU).
Rendahnya capaian penyelesaian RUU di tahun 2010 dari yang ditargetkan dalam prolegnas prioritas tersebut, disebabkan antara lain: Pertama, komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen pembentukan UU belum sepenuhnya ditaati, baik oleh pemerintah maupun DPR. Misal, masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar prioritas. Kedua, dari hasil evaluasi, daftar judul Prolegnas 2009-2010 terdapat sejumlah RUU yang substansi berdekatan sehingga jumlah total RUU mengalami pembengkakan. Seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan penggabungan beberapa RUU yang inisiatif berasal dari DPR saja atau pemerintah saja maupun inisiatif berbeda tetapi ada kesepakatan bersama. Misal, RUU Tenaga Kesehatan, RUU Keperawatan, RUU Praktik Bidan, inisiatif berasal dari DPR, maka dapat dijadikan satu misal, menjadi RUU Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Ketiga, rendahnya ketaatan terhadap pemenuhan jadwal legislasi dan sulitnya tercapai kuorum dalam rapat pembahasan RUU karena rendahnya kehadiran anggota Dewan dalam pembahasan legislasi. Keempat, terdapat sejumlah RUU yang tertunda pembahasannya atau mengalami deadlock karena adanya ketidaksepahaman antara pemerintah dengan DPR atau adanya ketidaksepakatan di internal kementerian. Kelima, anggota-anggota DPR terlalu mempersulit diri dalam proses pembahasan, misal, berbicara hal teknis kata-kata atau kalimat, yang seharusnya diserahkan kepada staf ahli. Keenam, RUU yang disiapkan menjadi Prioritas Prolegnas, belum memiliki naskah akademik. Misal, dalam Rekapitulasi Perkembangan RUU Prioritas 2010, pada 19 Oktober 2010, RUU yang merupakan inisiatif DPR, seperti RUU Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD--dalam proses penyusunan atau RUU inisiatif pemerintah dikategorikan belum ada naskah akademik, yaitu: RUU Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; RUU Pemilihan Kepala Daerah; RUU Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; RUU Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; RUU Desa; RUU Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; RUU Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan RUU Perubahan atas UU No. 3 tentang Pengadilan Anak. Ketujuh, penafsiran DPR yang makin tidak terarah tentang pembahasan RUU menjadi UU, misal, dulu pemahaman penyelesaian RUU adalah tuntas. Sekarang menurut PSHK, adalah (1) Menjadi inisiatif (rancangan awal misal, naskah akademik/naskah RUU); (2) Pembicaraan Tingkat I, (3) Pembicaraan Tingkat II. Penafsiran ini lebih merupakan suatu cara agar dana dari pembahasaan RUU Prolegnas sebesar 5,8 Miliar tersebut dapat selalu mengalir dalam setiap pembahasannya. Kedelapan, penentuan jumlah target Prolegnas ke depan (atau Periode 2014-2019) hendaknya lebih mendasarkan pada kapasitas DPR-RI dan Pemerintah dalam menyelesaikan RUU.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas legislasi, Baleg DPR mengupayakan beberapa terobosan, misalnya menetapkan adanya hari khusus legislasi, yaitu setiap Rabu dan Kamis. Selama dua hari tersebut, seluruh kegiatan DPR difokuskan untuk membahas RUU, baik di Komisi maupun Badan. Bahkan Rapat Pimpinan DPR pada 10 Agustus 2010 juga telah memutuskan bahwa masa persidangan pertama tahun 2010-2011 ditetapkan sebagai periode penyelesaian legislasi, membatasi waktu kunjungan kerja ke daerah dan membagi tanggung jawab pembahasan RUU kepada setiap unsur pimpinan Dewan. Kecuali itu, DPR juga akan menggunakan waktu libur untuk membahas legislasi. Dengan begitu, sampai dengan akhir tahun 2010 diharapkan dapat diselesaikan 40 dari 70 RUU target prolegnas. Sekalipun sudah diambil beberapa langkah untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU, tetap saja produktivitasnya rendah, yakni hanya 24,26% dari target.
Penyebab lainnya mungkin karena penetapan targetnya terlalu ambisius. Padahal ketika pada 1 Desember 2009 DPR menetapkan prioritas prolegnas 2010 sebanyak 70 RUU sebenarnya sudah diingatkan oleh banyak pihak sebagai target yang ambisius dan karena mustahil dapat dipenuhi. Karena itu, di masa depan, penetapan target prolegnas seyogyanya disesuaikan dengan kemungkinan penyelesaiannya, misalnya cukup sebanyak 30-40 RUU setiap tahunnya. Target sebanyak itupun kemungkinan tidak sepenuhnya dapat dicapai, tetapi paling tidak jika dilihat dari prosentase yang berhasil diselesaikan akan jauh lebih besar. Apalagi jika dihitung berdasarkan preseden keberhasilan penyelesaian RUU, misal, Komisi III dan Komisi I berhasil menyelesaikan 3 (tiga) RUU. Artinya, jika dihitung berdasarkan 11 Komisi dengan tanggung jawab tiga RUU, ditambah dengan Pansus (Panitia Khusus), Badan Anggaran (Badan Anggaran), dan Badan Legislasi (Baleg), seharusnya 42 RUU bisa diselesaikan dalam satu periodenya. Dengan demikian, jumlah yang proporsional dalam program legislasi nasional berkisar antara 150 – 175 RUU, bukan seperti prolegnas 2010-2014 ini yang telah menetapkan 247 RUU malah ditambah 1 RUU lagi, sehingga menjadi 248 yaitu, RUU tentang Perubahan aas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.


Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
artikel hasil diskusi dengan Efriza Riza (Pengamat Parlemen)

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
Copyright © boediman achmad sudarsono
Blogger Theme by BloggerThemes