Bawaslu Lakukan Pergantian Ketua
Jakarta, Bawaslu – Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia, terhitung sejak 4 Januari 2011 melakukan pergantian jabatan Ketua Bawaslu RI dari ketua lama Nur Hidayat Sardini kepada ketua yang baru Bambang Eka Cahya Widodo.
Pergantian jabatan itu, sesuai kesepakatan pleno pertama kalinya pada 9 April 2008, ketika Bawaslu RI masih menempati ruangan yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, tepatnya di lantai II di gedung KPU Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat.
Ketika itu, kesepakatan pleno diputuskan bahwa jabatan Ketua Bawaslu dilakukan dua kali dalam periode masa jabatan Anggota Bawaslu. Menurut Undang-undang 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, masa jabatan Anggota Bawaslu selama lima tahun.
“Pada awal masa kerja kami berlima, April 2008, pada pleno kali pertama, di samping membahas program kerja Bawaslu, juga membahas masa kerja Ketua Bawaslu yang akan terbagi dalam dua termin. Termin pertama, dijabat saya sebagai ketua terpilih saat itu dan termin kedua di pertengahan masa kerja di gelar pleno kembali. Jadi paroh pertama saya. Nah, paroh kedua ini Pak Bambang,” ujar Nur Hidayat Sardini.
Sementara itu, Ketua Bawaslu yang terpilih berdasarkan pleno Bawaslu 4 Januari 2011, Bambang Eka Cahya Widodo menegaskan bahwa pihaknya akan meneruskan program kerja yang telah ditetapkan dalam rapat pleno Bawaslu.
“Saya sebagai Ketua Bawaslu akan meneruskan program kerja yang telah ditetapkan dalam rapat pleno Bawaslu, karena semua ini telah berjalan dengan baik,” ujar Bambang Eka Cahya Widodo.
Dengan begitu, komposisi Keanggotaan Bawaslu hingga akhir masa kerja yakni Ketua Bambang Eka Cahya Widodo, Anggota Wahidah Suaib, Nur Hidayat Sardini, SF Agustiani Tio Fridelina Sitorus dan Wirdyaningsih.
Bambang Eka Cahya Widodo, lahir di Deli Serdang, Sumatera Utara pada 14 Desember 1968, mengawali karir sebagai dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Jurusan Ilmu Pemerintahan pada 1993 dan menjadi Dekan FISIP UMY periode 2003-2007. Bambang Eka Cahya Widodo menempuh pendidikan S-2 Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [Humas Bawaslu]
Kamis, 17 Maret 2011
Selasa, 15 Maret 2011
Menteri Gagal, Harus Legowo Mengundurkan Diri
Ada sebuah pertanyaan dari seorang penanya mengenai karakter pemimpin di tanah air ini. Dari zaman Presiden Sokarno hingga Presdien SBY, pemimpin itu dilahrikan oleh sejarah atau sejarah melahirkan pemimpin? Jawabannya dua hal tersebut bisa terjadi pada seorang pemimpin. Contoh dibarat ada Lenin dan Indonesia ada Soekarno dan Soeharto yang dianggap mempunyai sejarah pemimpin terhadap pembanguan di tanah air. Perisitiwa-peristiwa besar bisa melahirkan seorang pemimpin dimasa yang akan datang. Ironisnya peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa sekarang belum mampu melahirkan sejarah pemimpin atau pemimpin melahirkan sejarah. Lebih lanjut pemimpin yang ada pada saat ini tidak mampu menciptakan keduanya.
Public memang tidak meragukan integritas Presiden saat ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun yang jauh merosot adalah tingakat kewibawaan presiden akibat persepsi bahwa SBY kurang desicive, kurang determinan, kurang “berani mengambil resiko” untuk mengangkat kehidupan rakyat. Terlebih terkait gonjang ganjing reshuffle yang hanya menjadi hisapan jempol belaka. Banyak publik berharap ada ketegasan yang diambil SBY saat berpidato. Masyarakat berharap ada perubahan didalam pemilihan menteri berdasarkan kemampuan bukan karena persolan koalisi ataupun titipan nama yang diajukan masing-masing partai.
Bila pun harus terjadi reshuffle nantinya, yang pertama menjadi patokan adalah kinerja para menteri, lalu persoalan politik yang berkaitan dengan koalisi partai harus sesuai dengan sistem pemerintahan yang kita anut yaitu presidensial. Jadi ada koalisi ataupun tidak adanya koalisi sebetulnya presiden tidak boleh tersandara oleh koalisi yang dilakukan diparlemen. Posisi ini sekan membuat posisi presiden terjebak didalam permainan koalisi di dalam setgab. Sesungguhnya kabinet sistem presidensial tidak cocok dengan sistem multi partai yang ada di negara ini.
Banyak kelemahan didalam pelaksanaannya, tetapi ada juga yang menuju sukses. Persoalan yang muncul mau tidak presiden mengegakkan sistem presidensial itu. Semua balik kepada mereka yang memegang kekuasaan ataupun pemegang kebijkan dalalam hal ini yaitu lembaga DPR dan MPR. Kalau kita ingin menerapkan sistem presidensial maka presiden harus kuat memgang kendali pemerintahan, tidak boleh dimainkan oleh parlemen. Oleh karenanya, siapapun presidennya ketika kebijakan pemerintah yang pro rakyat dibuka dipublik, maka dengan sendirinya rakyat bisa melihat dan menilai. Yang mana yang benar dan mana yang salah.
Jadi sistem yang ada pada saat ini boleh dibilang “ngaco” tidak sesuai dengan apa yang kita tetapkan. Siapapun presidennya, kala memilih dan menetapkan menteri sesuai dengan sistem kabinet ahli, jangan memilih orang-orang yang tidak ahli. Akbiatnya seperti ini, banyak ketua partai yang memaksakan diri menjadi menteri, sedangkan mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sejalan dengan instansi yang mereka pegang saat ini. The right man on the right place, kalau ada orang diluar partai yang mempunyai wawasan yang luas, kenapa tidak ditempatkan sesuai bidangnya. Tidak terlalu silit mencari orang cerdas dan mempunyai pengalaman di negeri ini.
Jelas keputusan ini bisa disalahkan, presiden seakan dimainkan oleh partai pedukungnya. Kalau memang presiden menginginkan orang dari partai pendukungnya, silahkan meminta stock kepada partai untuk menyiapkan orang-orang yang pas mengisi pos kementrian. Seperti halnya zaman Seokarno, Soeharto bisa melakukan hal ini untuk mendapatkan orang-orang yang pas dibidangnya. Akan tetapi semua ini dilakukan berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk melakukan reshuffle. Bukan karena persolan partai yang berlawanan pemikiran.
Untuk itu pemenggilan beberpa ketua partai membahas masa depan koalisi di pemerintahan, hal ini sesuatu hal yang beretika. Tetapi kalau ketua umum hanya untuk melakukan bargaining politik ini yang tidak diinginkan, memang semua hak priogratif ada pada presiden. Semua ini balik lagi ke presiden, karena kekuasaan tidak ada intervensi dari pihak lain. Bila kebijkan ini sesuai dengan aturan, kenpa harus takut, berlama-lama menggantungkan persolan reshuffle kala itu. Yang ditakutkan, persoalan ini akan terjadi kepentingan-kepentingan yang diakomodasikan.
Memang kisruh reshuffle di Indonesia selalu identik dengan pergantian menteri secara rombongan. Seharusnya pergantian menteri itu bisa kapan saja menurut kebutuhan dan tidak menunggu kesalan berkalai-kali baru pasrah untuk diganti. Hal ini lah yang tidak pernah dibiasakan pemimpin untuk bertanggungjawab atas peristiwa besar di bidangnya. Kalau hal ini diterapkan, pastinya semua akan bekerja secara baik dan penuh tanggungjawab.
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
Public memang tidak meragukan integritas Presiden saat ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun yang jauh merosot adalah tingakat kewibawaan presiden akibat persepsi bahwa SBY kurang desicive, kurang determinan, kurang “berani mengambil resiko” untuk mengangkat kehidupan rakyat. Terlebih terkait gonjang ganjing reshuffle yang hanya menjadi hisapan jempol belaka. Banyak publik berharap ada ketegasan yang diambil SBY saat berpidato. Masyarakat berharap ada perubahan didalam pemilihan menteri berdasarkan kemampuan bukan karena persolan koalisi ataupun titipan nama yang diajukan masing-masing partai.
Bila pun harus terjadi reshuffle nantinya, yang pertama menjadi patokan adalah kinerja para menteri, lalu persoalan politik yang berkaitan dengan koalisi partai harus sesuai dengan sistem pemerintahan yang kita anut yaitu presidensial. Jadi ada koalisi ataupun tidak adanya koalisi sebetulnya presiden tidak boleh tersandara oleh koalisi yang dilakukan diparlemen. Posisi ini sekan membuat posisi presiden terjebak didalam permainan koalisi di dalam setgab. Sesungguhnya kabinet sistem presidensial tidak cocok dengan sistem multi partai yang ada di negara ini.
Banyak kelemahan didalam pelaksanaannya, tetapi ada juga yang menuju sukses. Persoalan yang muncul mau tidak presiden mengegakkan sistem presidensial itu. Semua balik kepada mereka yang memegang kekuasaan ataupun pemegang kebijkan dalalam hal ini yaitu lembaga DPR dan MPR. Kalau kita ingin menerapkan sistem presidensial maka presiden harus kuat memgang kendali pemerintahan, tidak boleh dimainkan oleh parlemen. Oleh karenanya, siapapun presidennya ketika kebijakan pemerintah yang pro rakyat dibuka dipublik, maka dengan sendirinya rakyat bisa melihat dan menilai. Yang mana yang benar dan mana yang salah.
Jadi sistem yang ada pada saat ini boleh dibilang “ngaco” tidak sesuai dengan apa yang kita tetapkan. Siapapun presidennya, kala memilih dan menetapkan menteri sesuai dengan sistem kabinet ahli, jangan memilih orang-orang yang tidak ahli. Akbiatnya seperti ini, banyak ketua partai yang memaksakan diri menjadi menteri, sedangkan mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan yang sejalan dengan instansi yang mereka pegang saat ini. The right man on the right place, kalau ada orang diluar partai yang mempunyai wawasan yang luas, kenapa tidak ditempatkan sesuai bidangnya. Tidak terlalu silit mencari orang cerdas dan mempunyai pengalaman di negeri ini.
Jelas keputusan ini bisa disalahkan, presiden seakan dimainkan oleh partai pedukungnya. Kalau memang presiden menginginkan orang dari partai pendukungnya, silahkan meminta stock kepada partai untuk menyiapkan orang-orang yang pas mengisi pos kementrian. Seperti halnya zaman Seokarno, Soeharto bisa melakukan hal ini untuk mendapatkan orang-orang yang pas dibidangnya. Akan tetapi semua ini dilakukan berdasarkan permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk melakukan reshuffle. Bukan karena persolan partai yang berlawanan pemikiran.
Untuk itu pemenggilan beberpa ketua partai membahas masa depan koalisi di pemerintahan, hal ini sesuatu hal yang beretika. Tetapi kalau ketua umum hanya untuk melakukan bargaining politik ini yang tidak diinginkan, memang semua hak priogratif ada pada presiden. Semua ini balik lagi ke presiden, karena kekuasaan tidak ada intervensi dari pihak lain. Bila kebijkan ini sesuai dengan aturan, kenpa harus takut, berlama-lama menggantungkan persolan reshuffle kala itu. Yang ditakutkan, persoalan ini akan terjadi kepentingan-kepentingan yang diakomodasikan.
Memang kisruh reshuffle di Indonesia selalu identik dengan pergantian menteri secara rombongan. Seharusnya pergantian menteri itu bisa kapan saja menurut kebutuhan dan tidak menunggu kesalan berkalai-kali baru pasrah untuk diganti. Hal ini lah yang tidak pernah dibiasakan pemimpin untuk bertanggungjawab atas peristiwa besar di bidangnya. Kalau hal ini diterapkan, pastinya semua akan bekerja secara baik dan penuh tanggungjawab.
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
Rabu, 09 Maret 2011
Tawar Menawar Kepentingan Prolegnas
Salah satu fungsi utama lembaga legeslatif adalah fungsi legislasi, yang menghasilkan beberapa kemajuan dalam produk perundang-undangan yag dihasilkan. Sejarah mencatat dileluarkannya beberapa Undang-undang (UU) penting bagi promosi demokratisasi dan Hak Asasi Manusia. Pengesahan dua konvensi PBB, yaitu konvensi tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya melalui UU no. 11/2005 adalah dua contoh perundang-undangan yang telah ditunggu sekilan lama oleh banyak elemen prodemokrasi. Laporan studi kinerja DPR menyebutkan bahwa dari segi kualitas, banyak UU yang dihasilkan tidak memberi manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat.
Memang beberapa aturan seperti UU No. 23/2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai kemajuan yang harus diapresiasi dari kinerja proses legislasi. Walau begitu, bila dilihat dari segi kinerja, masih banyak catatan atas kinerja baik lembaga legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Catatan yang paling kasatmata adalah dari segi produktivitas legislasi yang dihasilkan. Di tingkat pusat, jumlah produk perundangan yang dihasilkan oleh DPR masih jauh di bawah target yang dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Hal yang menarik adalah menyangkut legislasi terhadap isu-isu sensitif. Menurut Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat mengatakan, “adanya tarik ulur kepentingan didalam pembentukan UU itu adalah hal yang biasa didalam politik. Terkadang perwakilan partai mencoba memprioritaskan kepentingan mereka dan mengabaikan UU yang telah disepakati. Jadi inilah yang membuat realisasi didalam pembentukaan UU tidak mencapai target”. Semisal terkait UU Ketahanan Kendali TNI yang coba didahulukan, hal justru ini menuai polemik.
Lebih lanjut, tumpang kepentingan dari pihak-pihak tertentu menjadi sangat kasat mata dalam penertapan beberapa RUU. Tarik menarik menyangkut pembahasan substansi RUU Penanaman Modal yang disahkan DPR pada tahun 2007. Dalam pandangan akhir fraksi PDI-P menyampaikan adanya indikasi kuat kepentingan modal asing dan korporasi besar yang ditunjukan dalam penolakan terhadap usulan penanganan kejahatan korporasi. Sikap ini juga didukung oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa, yang melihat bahwa pasal ini membuat hilangnya kesempatan untuk mendapatkan temuan tentang petensi kerugian negara sebagai akibat beroprasinya modal asing.
Hal yang lain juga ditunjukan dengan alotnya pembahasan untuk megubah usulan dari pemberian kesempatan yang sama menjadi perlakukan yang sama bagi pemodal asing dan nasional. Sikap lain juga muncul dari kalangan aktivis yang menyoal kemudahan perizinan atas tanah yang berpotensi meningkatkan konflik agrarian. Catatan lain tentang kinerja legislasi DPR juaga terlihat dari banyaknya RUU dalam daftar Prolegnas yang merupakan RUU untuk mengubah UU yang relatif belum lama berlaku. Hal ini menunjukan bahwa kualitas UU yang dihasilkan sebelumnya patut dipertanyakan.
Buruknya kinerja legislasi DPR ini juga berkali-kali diungkap, fungsi inilah yang paling buruk kinerjanya dibandingkan fungsi anggaran dan pengawasan. Berkaca pada pengalaman tersebut, maka Baleg (Badan Legislasi) yang mengkordinasi proses legislasi dan Mentri Hukum dan HAM sebagai mitra pemerintah menetapkan kriteria dalam penyusunan Prolegnas tahun 2011 supaya pengalaman buruk tahun sebelumnya tidak terulang kemabli. Kita tahu pada tahun 2010 Prolegnas menetapkan 70 UU, yang terealisasi hanya 6 rancangan UU yang ditetapkan. Persoalan ini menjadi bukti lemahnya komitmen anggota DPR untuk menyelesaikan persoalan ini.
Sebastian Salang Koordinator FORMAPPI, memberikan penjelasan, “kurang harmonisnya hubungan antara Pemerintah dan DPR salah satu faktor terhambatnya proses pembutann UU yang telah direncanakan, selain itu faktor kepentingan antara fraksi kerap kali saling jegal didalam proses pembahasan UU”. Memang Pemerintah dan DPR sudah menyiapkan RUU inisiatif yang di ”godok” secara matang. Lagi-lagi kalau antara pemerintah dan DPR masing-masing saling dirugikan didalam draft pembahsan UU, secara otomtasi Program Legalisasi Nasional setiap tahunnya sulit mencapai target.
Sebastian Salang melanjutkan, secara teoritis anggota DPR dan Pemerintah memang mewakili kepentingan rakyat, akan tetapi secara praktiknya ada UU yang menurut pemerintah bisa mengganggu kepentingan mereka. Sebaliknya ada pula UU yang diusulakan oleh pemerintah menurut partai politik sangat merugikan mereka. Jadi Pemerintah dan DPR yang pertama mereka lihat adalah kepentingan mereka dahulu. Apakah kepentingan ini merugikan atau justru sebalinya, kepentingan ini menjadi kata kunci didalam perjalanan pembentukan UU.
Pertanyaannya mengapa DPR kewalahan dalam menyelesaikan target Prolegnas dalam satu tahun?, hal ini tidak bisa dijawab dengan jawaban keterbatasan sumber daya manusianya maupun anggaran. Namun, lebih pada bagimana sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi menjadi sinkron. Sehingga mulai dari tahap pengusulan sampai dengan implementasi UU dibangun di atas pondasi yang solid. Lagi-lagi kinerja anggota DPR masih sangat jauh dari harapan. Kesibukan akan dunia diluar parlemen jauh lebih mengasikkan.
Sungguh memperihatinkan bila kita masih mengadopsi hukum cara-cara Belanda saat ini, dilain pihak kita tidak mencoba meniru kesederhanaan parlemen negeri kincir angin tersebut. Parlemen kita kini terkesan mewah dengan berbagai tunjangan dan fasilitasnya. Gedung DPR Senayan bagai “show room mobil mewah”. Padahal di Belanda, anggota parlemen tidak mendapatkan gaji dan tunjangan mobil. Mereka hanya mendapat schadeloos-stelling (ganti rugi) yang cekak dan tunjangan yang zakelijk )jatah mobil dinas). Bagaimana dengan negara kita:
Gaji, Tanjungan, dan Uang Paket Pimpinan dan Anggota DPR
PERATURAN GAJI TUNJANGAN UANG PAKET KETERANGAN
PP No. 75/2000 (anggota DPR) Rp. 4.200.000
PP No. 75/2000 (Pemimpin DPR) Rp. 5.040.000 (ketua)
Rp. 4.620.000 (wakil ketua)
Keppres No. 59/2003 (anggota DPR) Rp. 9.700.000 Dengan tidak diberlakukannya Keppres No. 168/2000 dan Keppres No. 68/2001, besaran tunjangan mengalami kenaikan sebesar 28,30%
Keppres No. 59/2003 (pimpinan DPR) Rp. 19.900.000 (ketua) Rp. 15.600.000 (wakil ketua)
Keppres No. 60/2003 Rp. 2.000.000 Tidak dijelaskan yang dimaksud “uang pakaet” kecuali diperuntukan buat pimpinan dan anggot DPR dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (4) UU No.12/1980
Surat Mentri Keuangan No. S.82/KM.02/2003 (Anggota DPR) Rp. 3.720.000 Tunjangan kehormatan sebelum dipotong PPh Pasal 21 (15%)
Surat Mentri Keuangan No. S.82/KM.02/2003 (Anggota DPR) Rp. 4.460.000 (ketua)
Rp. 4.300.000 (wakil ketua)
Sumber: Dati Fatimah, Mail Sukribo dalam DPR Uncensored
Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas penunjang lain yang jumlahnya cukup banyak. Table berikut menggambarkan besarnya fasilitas yang diterima oleh anggota DPR diluar tunjangan lain seperti uang representasi, pensiunan, rumah jabatan, pelayanan kesehatan, perjalanan dunas baik dalam negeri dan luar negeri, dan banyal kagi pos yang lain juga jarang diketahui publik.
NO Jenis Tunjangan/Fasilitas Ketua Wakil Ketua Anggota Ketetang/Dasar Hukum
1 Telepon Rp. 3.000.000
/bulan a. Surat Mentri Keuangn No. S-193/MK.02/2006
b. SK Sekjen DPR No. 05/Sekjen 2006
2 Listrik Rp. 2.500.000 /bulan
3 Komunikasi Intensif Rp. 14.968.000 /bulan Rp. 14.554.000 /bulan Rp. 14.140.000 /bulan a. Surat Mentri Keuangan No. S. 193/ KM.2/2005
b. SK Sekjen DPR NO.04/Sekjen/ 2006
4 Beras 10 kg/jiwa x 4 jwa x Rp.3.009 Surat Edaran Dirjen Anggaran No. SE.008/WA.11/PK.03/ 2003
Dijelaskan kembali bahwa angota parlemen Belanda itu bukan pegawai negara. Jadi, jangankan mobil dinas, salaries (gaji) pun tidak ada. Istilah salaries menunjukan bahwa anggota parlemen berdinas pada pihak tertentu. Sebagai imbalan jerih payah, anggota parlemen menerima apa yang disebut schadeloosstelling alias ganti rugi. Anggota parlemen sepatutnya independen, dan oleh karena itu parlemen di Belanda tidak berdinas pada pihak mana pun. Untuk urusan mobilitas ke gedung parlemen di Binnenhof (Den Haag), yang nyata-nyata demi kepentingan Negara, itu menjadi tanggung jawab masing-masing anggota parlemen.
Makanya banyak anggota parlemen yang ngantor dengan naik trem, sejenis angkutan umum kota mirip kereta apai tapi bentuknya lebih kecil. Bila anggota DPR ingin melakukan studi banding, coba Belanda dijakdikan tempat studi banding didalam mengelola parlemen Negara secara sederhana. Disana kita bisa menyaksikan bahwa di halaman gedung parlemen negeri berpenghasilan 22.570 euro per kapita itu, tidak ditemukan mobil sekelas Jaguar dan sejenisnya. Lalu bagaimana dengan parlemen kita?
ABN
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
Artikel Penulis di Majalah Figur
Memang beberapa aturan seperti UU No. 23/2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai kemajuan yang harus diapresiasi dari kinerja proses legislasi. Walau begitu, bila dilihat dari segi kinerja, masih banyak catatan atas kinerja baik lembaga legislatif di tingkat pusat maupun daerah. Catatan yang paling kasatmata adalah dari segi produktivitas legislasi yang dihasilkan. Di tingkat pusat, jumlah produk perundangan yang dihasilkan oleh DPR masih jauh di bawah target yang dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Hal yang menarik adalah menyangkut legislasi terhadap isu-isu sensitif. Menurut Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat mengatakan, “adanya tarik ulur kepentingan didalam pembentukan UU itu adalah hal yang biasa didalam politik. Terkadang perwakilan partai mencoba memprioritaskan kepentingan mereka dan mengabaikan UU yang telah disepakati. Jadi inilah yang membuat realisasi didalam pembentukaan UU tidak mencapai target”. Semisal terkait UU Ketahanan Kendali TNI yang coba didahulukan, hal justru ini menuai polemik.
Lebih lanjut, tumpang kepentingan dari pihak-pihak tertentu menjadi sangat kasat mata dalam penertapan beberapa RUU. Tarik menarik menyangkut pembahasan substansi RUU Penanaman Modal yang disahkan DPR pada tahun 2007. Dalam pandangan akhir fraksi PDI-P menyampaikan adanya indikasi kuat kepentingan modal asing dan korporasi besar yang ditunjukan dalam penolakan terhadap usulan penanganan kejahatan korporasi. Sikap ini juga didukung oleh Fraksi Kebangkitan Bangsa, yang melihat bahwa pasal ini membuat hilangnya kesempatan untuk mendapatkan temuan tentang petensi kerugian negara sebagai akibat beroprasinya modal asing.
Hal yang lain juga ditunjukan dengan alotnya pembahasan untuk megubah usulan dari pemberian kesempatan yang sama menjadi perlakukan yang sama bagi pemodal asing dan nasional. Sikap lain juga muncul dari kalangan aktivis yang menyoal kemudahan perizinan atas tanah yang berpotensi meningkatkan konflik agrarian. Catatan lain tentang kinerja legislasi DPR juaga terlihat dari banyaknya RUU dalam daftar Prolegnas yang merupakan RUU untuk mengubah UU yang relatif belum lama berlaku. Hal ini menunjukan bahwa kualitas UU yang dihasilkan sebelumnya patut dipertanyakan.
Buruknya kinerja legislasi DPR ini juga berkali-kali diungkap, fungsi inilah yang paling buruk kinerjanya dibandingkan fungsi anggaran dan pengawasan. Berkaca pada pengalaman tersebut, maka Baleg (Badan Legislasi) yang mengkordinasi proses legislasi dan Mentri Hukum dan HAM sebagai mitra pemerintah menetapkan kriteria dalam penyusunan Prolegnas tahun 2011 supaya pengalaman buruk tahun sebelumnya tidak terulang kemabli. Kita tahu pada tahun 2010 Prolegnas menetapkan 70 UU, yang terealisasi hanya 6 rancangan UU yang ditetapkan. Persoalan ini menjadi bukti lemahnya komitmen anggota DPR untuk menyelesaikan persoalan ini.
Sebastian Salang Koordinator FORMAPPI, memberikan penjelasan, “kurang harmonisnya hubungan antara Pemerintah dan DPR salah satu faktor terhambatnya proses pembutann UU yang telah direncanakan, selain itu faktor kepentingan antara fraksi kerap kali saling jegal didalam proses pembahasan UU”. Memang Pemerintah dan DPR sudah menyiapkan RUU inisiatif yang di ”godok” secara matang. Lagi-lagi kalau antara pemerintah dan DPR masing-masing saling dirugikan didalam draft pembahsan UU, secara otomtasi Program Legalisasi Nasional setiap tahunnya sulit mencapai target.
Sebastian Salang melanjutkan, secara teoritis anggota DPR dan Pemerintah memang mewakili kepentingan rakyat, akan tetapi secara praktiknya ada UU yang menurut pemerintah bisa mengganggu kepentingan mereka. Sebaliknya ada pula UU yang diusulakan oleh pemerintah menurut partai politik sangat merugikan mereka. Jadi Pemerintah dan DPR yang pertama mereka lihat adalah kepentingan mereka dahulu. Apakah kepentingan ini merugikan atau justru sebalinya, kepentingan ini menjadi kata kunci didalam perjalanan pembentukan UU.
Pertanyaannya mengapa DPR kewalahan dalam menyelesaikan target Prolegnas dalam satu tahun?, hal ini tidak bisa dijawab dengan jawaban keterbatasan sumber daya manusianya maupun anggaran. Namun, lebih pada bagimana sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi menjadi sinkron. Sehingga mulai dari tahap pengusulan sampai dengan implementasi UU dibangun di atas pondasi yang solid. Lagi-lagi kinerja anggota DPR masih sangat jauh dari harapan. Kesibukan akan dunia diluar parlemen jauh lebih mengasikkan.
Sungguh memperihatinkan bila kita masih mengadopsi hukum cara-cara Belanda saat ini, dilain pihak kita tidak mencoba meniru kesederhanaan parlemen negeri kincir angin tersebut. Parlemen kita kini terkesan mewah dengan berbagai tunjangan dan fasilitasnya. Gedung DPR Senayan bagai “show room mobil mewah”. Padahal di Belanda, anggota parlemen tidak mendapatkan gaji dan tunjangan mobil. Mereka hanya mendapat schadeloos-stelling (ganti rugi) yang cekak dan tunjangan yang zakelijk )jatah mobil dinas). Bagaimana dengan negara kita:
Gaji, Tanjungan, dan Uang Paket Pimpinan dan Anggota DPR
PERATURAN GAJI TUNJANGAN UANG PAKET KETERANGAN
PP No. 75/2000 (anggota DPR) Rp. 4.200.000
PP No. 75/2000 (Pemimpin DPR) Rp. 5.040.000 (ketua)
Rp. 4.620.000 (wakil ketua)
Keppres No. 59/2003 (anggota DPR) Rp. 9.700.000 Dengan tidak diberlakukannya Keppres No. 168/2000 dan Keppres No. 68/2001, besaran tunjangan mengalami kenaikan sebesar 28,30%
Keppres No. 59/2003 (pimpinan DPR) Rp. 19.900.000 (ketua) Rp. 15.600.000 (wakil ketua)
Keppres No. 60/2003 Rp. 2.000.000 Tidak dijelaskan yang dimaksud “uang pakaet” kecuali diperuntukan buat pimpinan dan anggot DPR dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (4) UU No.12/1980
Surat Mentri Keuangan No. S.82/KM.02/2003 (Anggota DPR) Rp. 3.720.000 Tunjangan kehormatan sebelum dipotong PPh Pasal 21 (15%)
Surat Mentri Keuangan No. S.82/KM.02/2003 (Anggota DPR) Rp. 4.460.000 (ketua)
Rp. 4.300.000 (wakil ketua)
Sumber: Dati Fatimah, Mail Sukribo dalam DPR Uncensored
Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas penunjang lain yang jumlahnya cukup banyak. Table berikut menggambarkan besarnya fasilitas yang diterima oleh anggota DPR diluar tunjangan lain seperti uang representasi, pensiunan, rumah jabatan, pelayanan kesehatan, perjalanan dunas baik dalam negeri dan luar negeri, dan banyal kagi pos yang lain juga jarang diketahui publik.
NO Jenis Tunjangan/Fasilitas Ketua Wakil Ketua Anggota Ketetang/Dasar Hukum
1 Telepon Rp. 3.000.000
/bulan a. Surat Mentri Keuangn No. S-193/MK.02/2006
b. SK Sekjen DPR No. 05/Sekjen 2006
2 Listrik Rp. 2.500.000 /bulan
3 Komunikasi Intensif Rp. 14.968.000 /bulan Rp. 14.554.000 /bulan Rp. 14.140.000 /bulan a. Surat Mentri Keuangan No. S. 193/ KM.2/2005
b. SK Sekjen DPR NO.04/Sekjen/ 2006
4 Beras 10 kg/jiwa x 4 jwa x Rp.3.009 Surat Edaran Dirjen Anggaran No. SE.008/WA.11/PK.03/ 2003
Dijelaskan kembali bahwa angota parlemen Belanda itu bukan pegawai negara. Jadi, jangankan mobil dinas, salaries (gaji) pun tidak ada. Istilah salaries menunjukan bahwa anggota parlemen berdinas pada pihak tertentu. Sebagai imbalan jerih payah, anggota parlemen menerima apa yang disebut schadeloosstelling alias ganti rugi. Anggota parlemen sepatutnya independen, dan oleh karena itu parlemen di Belanda tidak berdinas pada pihak mana pun. Untuk urusan mobilitas ke gedung parlemen di Binnenhof (Den Haag), yang nyata-nyata demi kepentingan Negara, itu menjadi tanggung jawab masing-masing anggota parlemen.
Makanya banyak anggota parlemen yang ngantor dengan naik trem, sejenis angkutan umum kota mirip kereta apai tapi bentuknya lebih kecil. Bila anggota DPR ingin melakukan studi banding, coba Belanda dijakdikan tempat studi banding didalam mengelola parlemen Negara secara sederhana. Disana kita bisa menyaksikan bahwa di halaman gedung parlemen negeri berpenghasilan 22.570 euro per kapita itu, tidak ditemukan mobil sekelas Jaguar dan sejenisnya. Lalu bagaimana dengan parlemen kita?
ABN
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
Artikel Penulis di Majalah Figur
Problem Dalam Evaluasi Prolegnas
Pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (dikenal dengan istilah UU MD3) pada 3 Agustus 2009, membuat adanya satu set aturan main baru dalam proses legislasi. Katakanlah, atas rujukan UU tersebut, DPD kini juga dimungkinkan untuk mengikuti pembahasan RUU tertentu pada seluruh tahapan tingkat I, mulai dari Panitia Khusus, Panitia Kerja, sampai memberikan pandangan mini. Padahal sebelumnya, anggota DPD hanya bisa mengikuti pembahasan RUU tertentu hanya pada awal tingkat I, seperti layaknya sebuah LSM.
Dari segi transparansi juga perlu diingat adanya perubahan signifikan yang diatur oleh UU MD3 mengenai sifat keterbukaan rapat. UU MD3 mengatur bahwa semua rapat di MPR, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan secara terbuka, kecuali jika rapat-rapat itu dinyatakan tertutup. Hal itu tentunya berbanding terbalik dengan pengaturan sebelumnya dalam Tata Tertib DPR lama, yaitu pada dasarnya Rapat Panitia Kerja (Panja) bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Dalam proses legislasi, soal keterbukaan rapat merupakan satu isu yang krusial, terutama dalam keterkaitannya dengan pelibatan dari para pemangku kepentingan.
Jangka waktu pembahasan RUU pun kini diberikan batasan paling lama dua masa sidang dan hanya dapat diperpanjang paling lama satu kali masa sidang. Upaya pembenahan seperti itu diharapkan akan mengefektifkan pola kerja pembahasan RUU di DPR sehingga tidak ada lagi suatu RUU yang dibahas selama bertahun-tahun tanpa kejelasan penuntasannya.
DPR juga sudah mulai mencoba membangun suatu sistem untuk menyelesaikan masalah distribusi beban kerja para anggota dalam kinerja legislasi. Pada periode sebelumnya, soal beban kerja legislasi yang menunmpuk menjadi suatu kendala bagi para anggota DPR untuk bisa fokus dan berkontribusi optimal pada pembahasan suatu RUU. Kini, sudah diatur batas bagi setiap anggota DPR yaitu untuk membahas maksimal tiga RUU pada waktu yang bersamaan, kecuali untuk RUU mengenai pembentukan dan pemekaran serta penggabungan, pembentukan pengadilan tinggi, ratifikasi perjanjian internasional, dan RUU paket.
Tentunya beberapa perkembangan positif dalam proses legislasi tersebut harus direspons positif dan dengan harapan-harapan baru. Lembaga perwakilan tidak boleh melulu terjebak dalam kendala dan hambatan yang sama sejak satu dasarwarsa lalu. Lembaga perwakilan haruslah responsif dan sensitif terhadap dinamika kemasyarakatan.
Namun, hingga akhir tahun 2010, dari 70 RUU prioritas tersebut, dengan kategori 36 RUU berasal dari inisiatif DPR dan 34 RUU dari Pemerintah, DPR hanya mampu menyelesaikan dan mensahkan 17 (tujuh belas RUU). Dengan kategori yakni 8 (delapan RUU merupakan hasil prolegnas dan 9 (sembilan) RUU lainnya merupakan usulan kategori non-prolegnas atau RUU Kumulatif Terbuka. Bahkan, penambahan RUU di tengah jalan dalam prioritas prolegnas sebanyak 17 RUU, (maksudnya 15 RUU tambahan, dan dikeluarkan 2 RUU tapi 2 RUU diajukan), hanya berhasil disahkan 2 (dua) RUU saja yakni Revisi RUU Holtikultura dan Revisi RUU Cagar Budaya.
Berdasarkan capain tersebut jika dilihat waktu pemrosesan dari RUU menjadi UU, dapat dikatakan sejak 1 Oktober 2009-31 Desember 2010, proses legislasi ini dapat diartikan sebagai keberhasilan Partai Demokrat mendominasi kursi di Parlemen pada Pemilu 2009, dan menjadi Ketua Badan Legislasi Nasional (Baleg) DPR, jika dibandingkan dengan tahun 2005, yang mana Partai Demokrat merupakan Partai keempat terbesar pada Pemilu 2004 lalu.
Namun, tak bisa dimungkiri, capaian penyelesaian RUU oleh DPR pada tahun 2010 itu sangat ironis karena alokasi anggaran untuk setiap RUU naik 10 lipat dibanding tahun 2005. Pada tahun 2005 anggaran pembahasan setiap RUU sebesar Rp. 560 juta, sedangkan pada tahun 2010 menjadi Rp. 5,8 milyar (dari 10 RUU).
Rendahnya capaian penyelesaian RUU di tahun 2010 dari yang ditargetkan dalam prolegnas prioritas tersebut, disebabkan antara lain: Pertama, komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen pembentukan UU belum sepenuhnya ditaati, baik oleh pemerintah maupun DPR. Misal, masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar prioritas. Kedua, dari hasil evaluasi, daftar judul Prolegnas 2009-2010 terdapat sejumlah RUU yang substansi berdekatan sehingga jumlah total RUU mengalami pembengkakan. Seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan penggabungan beberapa RUU yang inisiatif berasal dari DPR saja atau pemerintah saja maupun inisiatif berbeda tetapi ada kesepakatan bersama. Misal, RUU Tenaga Kesehatan, RUU Keperawatan, RUU Praktik Bidan, inisiatif berasal dari DPR, maka dapat dijadikan satu misal, menjadi RUU Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Ketiga, rendahnya ketaatan terhadap pemenuhan jadwal legislasi dan sulitnya tercapai kuorum dalam rapat pembahasan RUU karena rendahnya kehadiran anggota Dewan dalam pembahasan legislasi. Keempat, terdapat sejumlah RUU yang tertunda pembahasannya atau mengalami deadlock karena adanya ketidaksepahaman antara pemerintah dengan DPR atau adanya ketidaksepakatan di internal kementerian. Kelima, anggota-anggota DPR terlalu mempersulit diri dalam proses pembahasan, misal, berbicara hal teknis kata-kata atau kalimat, yang seharusnya diserahkan kepada staf ahli. Keenam, RUU yang disiapkan menjadi Prioritas Prolegnas, belum memiliki naskah akademik. Misal, dalam Rekapitulasi Perkembangan RUU Prioritas 2010, pada 19 Oktober 2010, RUU yang merupakan inisiatif DPR, seperti RUU Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD--dalam proses penyusunan atau RUU inisiatif pemerintah dikategorikan belum ada naskah akademik, yaitu: RUU Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; RUU Pemilihan Kepala Daerah; RUU Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; RUU Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; RUU Desa; RUU Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; RUU Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan RUU Perubahan atas UU No. 3 tentang Pengadilan Anak. Ketujuh, penafsiran DPR yang makin tidak terarah tentang pembahasan RUU menjadi UU, misal, dulu pemahaman penyelesaian RUU adalah tuntas. Sekarang menurut PSHK, adalah (1) Menjadi inisiatif (rancangan awal misal, naskah akademik/naskah RUU); (2) Pembicaraan Tingkat I, (3) Pembicaraan Tingkat II. Penafsiran ini lebih merupakan suatu cara agar dana dari pembahasaan RUU Prolegnas sebesar 5,8 Miliar tersebut dapat selalu mengalir dalam setiap pembahasannya. Kedelapan, penentuan jumlah target Prolegnas ke depan (atau Periode 2014-2019) hendaknya lebih mendasarkan pada kapasitas DPR-RI dan Pemerintah dalam menyelesaikan RUU.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas legislasi, Baleg DPR mengupayakan beberapa terobosan, misalnya menetapkan adanya hari khusus legislasi, yaitu setiap Rabu dan Kamis. Selama dua hari tersebut, seluruh kegiatan DPR difokuskan untuk membahas RUU, baik di Komisi maupun Badan. Bahkan Rapat Pimpinan DPR pada 10 Agustus 2010 juga telah memutuskan bahwa masa persidangan pertama tahun 2010-2011 ditetapkan sebagai periode penyelesaian legislasi, membatasi waktu kunjungan kerja ke daerah dan membagi tanggung jawab pembahasan RUU kepada setiap unsur pimpinan Dewan. Kecuali itu, DPR juga akan menggunakan waktu libur untuk membahas legislasi. Dengan begitu, sampai dengan akhir tahun 2010 diharapkan dapat diselesaikan 40 dari 70 RUU target prolegnas. Sekalipun sudah diambil beberapa langkah untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU, tetap saja produktivitasnya rendah, yakni hanya 24,26% dari target.
Penyebab lainnya mungkin karena penetapan targetnya terlalu ambisius. Padahal ketika pada 1 Desember 2009 DPR menetapkan prioritas prolegnas 2010 sebanyak 70 RUU sebenarnya sudah diingatkan oleh banyak pihak sebagai target yang ambisius dan karena mustahil dapat dipenuhi. Karena itu, di masa depan, penetapan target prolegnas seyogyanya disesuaikan dengan kemungkinan penyelesaiannya, misalnya cukup sebanyak 30-40 RUU setiap tahunnya. Target sebanyak itupun kemungkinan tidak sepenuhnya dapat dicapai, tetapi paling tidak jika dilihat dari prosentase yang berhasil diselesaikan akan jauh lebih besar. Apalagi jika dihitung berdasarkan preseden keberhasilan penyelesaian RUU, misal, Komisi III dan Komisi I berhasil menyelesaikan 3 (tiga) RUU. Artinya, jika dihitung berdasarkan 11 Komisi dengan tanggung jawab tiga RUU, ditambah dengan Pansus (Panitia Khusus), Badan Anggaran (Badan Anggaran), dan Badan Legislasi (Baleg), seharusnya 42 RUU bisa diselesaikan dalam satu periodenya. Dengan demikian, jumlah yang proporsional dalam program legislasi nasional berkisar antara 150 – 175 RUU, bukan seperti prolegnas 2010-2014 ini yang telah menetapkan 247 RUU malah ditambah 1 RUU lagi, sehingga menjadi 248 yaitu, RUU tentang Perubahan aas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
artikel hasil diskusi dengan Efriza Riza (Pengamat Parlemen)
Dari segi transparansi juga perlu diingat adanya perubahan signifikan yang diatur oleh UU MD3 mengenai sifat keterbukaan rapat. UU MD3 mengatur bahwa semua rapat di MPR, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan secara terbuka, kecuali jika rapat-rapat itu dinyatakan tertutup. Hal itu tentunya berbanding terbalik dengan pengaturan sebelumnya dalam Tata Tertib DPR lama, yaitu pada dasarnya Rapat Panitia Kerja (Panja) bersifat tertutup, kecuali dinyatakan terbuka. Dalam proses legislasi, soal keterbukaan rapat merupakan satu isu yang krusial, terutama dalam keterkaitannya dengan pelibatan dari para pemangku kepentingan.
Jangka waktu pembahasan RUU pun kini diberikan batasan paling lama dua masa sidang dan hanya dapat diperpanjang paling lama satu kali masa sidang. Upaya pembenahan seperti itu diharapkan akan mengefektifkan pola kerja pembahasan RUU di DPR sehingga tidak ada lagi suatu RUU yang dibahas selama bertahun-tahun tanpa kejelasan penuntasannya.
DPR juga sudah mulai mencoba membangun suatu sistem untuk menyelesaikan masalah distribusi beban kerja para anggota dalam kinerja legislasi. Pada periode sebelumnya, soal beban kerja legislasi yang menunmpuk menjadi suatu kendala bagi para anggota DPR untuk bisa fokus dan berkontribusi optimal pada pembahasan suatu RUU. Kini, sudah diatur batas bagi setiap anggota DPR yaitu untuk membahas maksimal tiga RUU pada waktu yang bersamaan, kecuali untuk RUU mengenai pembentukan dan pemekaran serta penggabungan, pembentukan pengadilan tinggi, ratifikasi perjanjian internasional, dan RUU paket.
Tentunya beberapa perkembangan positif dalam proses legislasi tersebut harus direspons positif dan dengan harapan-harapan baru. Lembaga perwakilan tidak boleh melulu terjebak dalam kendala dan hambatan yang sama sejak satu dasarwarsa lalu. Lembaga perwakilan haruslah responsif dan sensitif terhadap dinamika kemasyarakatan.
Namun, hingga akhir tahun 2010, dari 70 RUU prioritas tersebut, dengan kategori 36 RUU berasal dari inisiatif DPR dan 34 RUU dari Pemerintah, DPR hanya mampu menyelesaikan dan mensahkan 17 (tujuh belas RUU). Dengan kategori yakni 8 (delapan RUU merupakan hasil prolegnas dan 9 (sembilan) RUU lainnya merupakan usulan kategori non-prolegnas atau RUU Kumulatif Terbuka. Bahkan, penambahan RUU di tengah jalan dalam prioritas prolegnas sebanyak 17 RUU, (maksudnya 15 RUU tambahan, dan dikeluarkan 2 RUU tapi 2 RUU diajukan), hanya berhasil disahkan 2 (dua) RUU saja yakni Revisi RUU Holtikultura dan Revisi RUU Cagar Budaya.
Berdasarkan capain tersebut jika dilihat waktu pemrosesan dari RUU menjadi UU, dapat dikatakan sejak 1 Oktober 2009-31 Desember 2010, proses legislasi ini dapat diartikan sebagai keberhasilan Partai Demokrat mendominasi kursi di Parlemen pada Pemilu 2009, dan menjadi Ketua Badan Legislasi Nasional (Baleg) DPR, jika dibandingkan dengan tahun 2005, yang mana Partai Demokrat merupakan Partai keempat terbesar pada Pemilu 2004 lalu.
Namun, tak bisa dimungkiri, capaian penyelesaian RUU oleh DPR pada tahun 2010 itu sangat ironis karena alokasi anggaran untuk setiap RUU naik 10 lipat dibanding tahun 2005. Pada tahun 2005 anggaran pembahasan setiap RUU sebesar Rp. 560 juta, sedangkan pada tahun 2010 menjadi Rp. 5,8 milyar (dari 10 RUU).
Rendahnya capaian penyelesaian RUU di tahun 2010 dari yang ditargetkan dalam prolegnas prioritas tersebut, disebabkan antara lain: Pertama, komitmen terhadap Prolegnas sebagai satu-satunya instrumen pembentukan UU belum sepenuhnya ditaati, baik oleh pemerintah maupun DPR. Misal, masih sering terjadi masuknya RUU yang sebelumnya tidak tercantum dalam daftar prioritas. Kedua, dari hasil evaluasi, daftar judul Prolegnas 2009-2010 terdapat sejumlah RUU yang substansi berdekatan sehingga jumlah total RUU mengalami pembengkakan. Seharusnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan penggabungan beberapa RUU yang inisiatif berasal dari DPR saja atau pemerintah saja maupun inisiatif berbeda tetapi ada kesepakatan bersama. Misal, RUU Tenaga Kesehatan, RUU Keperawatan, RUU Praktik Bidan, inisiatif berasal dari DPR, maka dapat dijadikan satu misal, menjadi RUU Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Ketiga, rendahnya ketaatan terhadap pemenuhan jadwal legislasi dan sulitnya tercapai kuorum dalam rapat pembahasan RUU karena rendahnya kehadiran anggota Dewan dalam pembahasan legislasi. Keempat, terdapat sejumlah RUU yang tertunda pembahasannya atau mengalami deadlock karena adanya ketidaksepahaman antara pemerintah dengan DPR atau adanya ketidaksepakatan di internal kementerian. Kelima, anggota-anggota DPR terlalu mempersulit diri dalam proses pembahasan, misal, berbicara hal teknis kata-kata atau kalimat, yang seharusnya diserahkan kepada staf ahli. Keenam, RUU yang disiapkan menjadi Prioritas Prolegnas, belum memiliki naskah akademik. Misal, dalam Rekapitulasi Perkembangan RUU Prioritas 2010, pada 19 Oktober 2010, RUU yang merupakan inisiatif DPR, seperti RUU Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD--dalam proses penyusunan atau RUU inisiatif pemerintah dikategorikan belum ada naskah akademik, yaitu: RUU Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; RUU Pemilihan Kepala Daerah; RUU Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; RUU Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; RUU Desa; RUU Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; RUU Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan RUU Perubahan atas UU No. 3 tentang Pengadilan Anak. Ketujuh, penafsiran DPR yang makin tidak terarah tentang pembahasan RUU menjadi UU, misal, dulu pemahaman penyelesaian RUU adalah tuntas. Sekarang menurut PSHK, adalah (1) Menjadi inisiatif (rancangan awal misal, naskah akademik/naskah RUU); (2) Pembicaraan Tingkat I, (3) Pembicaraan Tingkat II. Penafsiran ini lebih merupakan suatu cara agar dana dari pembahasaan RUU Prolegnas sebesar 5,8 Miliar tersebut dapat selalu mengalir dalam setiap pembahasannya. Kedelapan, penentuan jumlah target Prolegnas ke depan (atau Periode 2014-2019) hendaknya lebih mendasarkan pada kapasitas DPR-RI dan Pemerintah dalam menyelesaikan RUU.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas legislasi, Baleg DPR mengupayakan beberapa terobosan, misalnya menetapkan adanya hari khusus legislasi, yaitu setiap Rabu dan Kamis. Selama dua hari tersebut, seluruh kegiatan DPR difokuskan untuk membahas RUU, baik di Komisi maupun Badan. Bahkan Rapat Pimpinan DPR pada 10 Agustus 2010 juga telah memutuskan bahwa masa persidangan pertama tahun 2010-2011 ditetapkan sebagai periode penyelesaian legislasi, membatasi waktu kunjungan kerja ke daerah dan membagi tanggung jawab pembahasan RUU kepada setiap unsur pimpinan Dewan. Kecuali itu, DPR juga akan menggunakan waktu libur untuk membahas legislasi. Dengan begitu, sampai dengan akhir tahun 2010 diharapkan dapat diselesaikan 40 dari 70 RUU target prolegnas. Sekalipun sudah diambil beberapa langkah untuk mempercepat penyelesaian pembahasan RUU, tetap saja produktivitasnya rendah, yakni hanya 24,26% dari target.
Penyebab lainnya mungkin karena penetapan targetnya terlalu ambisius. Padahal ketika pada 1 Desember 2009 DPR menetapkan prioritas prolegnas 2010 sebanyak 70 RUU sebenarnya sudah diingatkan oleh banyak pihak sebagai target yang ambisius dan karena mustahil dapat dipenuhi. Karena itu, di masa depan, penetapan target prolegnas seyogyanya disesuaikan dengan kemungkinan penyelesaiannya, misalnya cukup sebanyak 30-40 RUU setiap tahunnya. Target sebanyak itupun kemungkinan tidak sepenuhnya dapat dicapai, tetapi paling tidak jika dilihat dari prosentase yang berhasil diselesaikan akan jauh lebih besar. Apalagi jika dihitung berdasarkan preseden keberhasilan penyelesaian RUU, misal, Komisi III dan Komisi I berhasil menyelesaikan 3 (tiga) RUU. Artinya, jika dihitung berdasarkan 11 Komisi dengan tanggung jawab tiga RUU, ditambah dengan Pansus (Panitia Khusus), Badan Anggaran (Badan Anggaran), dan Badan Legislasi (Baleg), seharusnya 42 RUU bisa diselesaikan dalam satu periodenya. Dengan demikian, jumlah yang proporsional dalam program legislasi nasional berkisar antara 150 – 175 RUU, bukan seperti prolegnas 2010-2014 ini yang telah menetapkan 247 RUU malah ditambah 1 RUU lagi, sehingga menjadi 248 yaitu, RUU tentang Perubahan aas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
artikel hasil diskusi dengan Efriza Riza (Pengamat Parlemen)
politik perempuan- feminisme parlemen
Dalam perjalanan sejarahnya, perbuhan politik di Indonesia terjadi setelah gerakan reformasi berhasil menurunkan kekuatan status que dibawah rezim Orde Baru. sejak saat itu, gerakan-gerak sosial dan politik baru (new social and political movement) tumbuh subur sebagai kelompok politik penekan. salah satunya adalah gerakan politik yang diprakarsai untuk memberdayakan kaum perempuan. di masa itulah terwujud era kebebasan berpolitik, berideologi dan rasa nasionalisme yang tinggi. semua kalangan dari berbagai aliran dan kelompok politik diperbolehkan berkembang, bahkan kaum perempuan pada pemilu masa ini telah menjadi motor penggerak demokrasi. para perempuan pun, tidak seperti di beberapa negara lain, diikutsertakan dan memiliki hak politik dalam pemilu. pada masa inilah lahir tokoh-tokoh politisi perempuan yang pada akhirnya mempengaruhi perekembangan politik bangsa di masa depan.
Namun sayangnya, setelah sepuluh kali pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sejak 1955 hingga 2009, partisipasi perempuan masih minim jika dibandingkan dengan laki-laki. baik dalam menggunkan hak pilihnya maupun hak untuk dipilih yang secara nyata dijamin dalam konstitusi. tidak heran jika sampai hari ini jumlah perempuan yang duduk di legislatif hanya sekitar 18 persen, atau sekitar 102 orang dari 560 jumlah keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Rkayat. dengan jumlah tersebut, agak sulit diharapkan akan muncul banyak kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan.
Patut dipertanyakan mengapa dalam proses demokrasi yang sudah berjalan cukup lama di Indonesia, partisipasi perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum masih tetap saja minim? sejatinya emapt persoalan terkait rendahnya partisipasi perempuan dalam politik. pertama, telah terjadi proses depolitisasi yang sengaja dan sistemik terhadap perempuan. akibatnya, meskipun Indonesia telah merdeka umumnya perempuan belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya institusi pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis;;. ketiga, umumnya perempuan belum memahami hak asasi mereka, termasuk hak asasi dalam bidang politik dan potensi-potensi yang tekandung di balik hak tesebut;;. kempat, pendidikan politik bagi perempuan belum diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan terencana.
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, komitmen partai yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses yang memadai bagi kepentingan perempuan dan masih kurang kendala struktural, nilai-nilai budya dan interprestasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi.
Daftar perwakilan perempuan di parlemen 2009-2014
Namun sayangnya, setelah sepuluh kali pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sejak 1955 hingga 2009, partisipasi perempuan masih minim jika dibandingkan dengan laki-laki. baik dalam menggunkan hak pilihnya maupun hak untuk dipilih yang secara nyata dijamin dalam konstitusi. tidak heran jika sampai hari ini jumlah perempuan yang duduk di legislatif hanya sekitar 18 persen, atau sekitar 102 orang dari 560 jumlah keseluruhan anggota Dewan Perwakilan Rkayat. dengan jumlah tersebut, agak sulit diharapkan akan muncul banyak kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan.
Patut dipertanyakan mengapa dalam proses demokrasi yang sudah berjalan cukup lama di Indonesia, partisipasi perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum masih tetap saja minim? sejatinya emapt persoalan terkait rendahnya partisipasi perempuan dalam politik. pertama, telah terjadi proses depolitisasi yang sengaja dan sistemik terhadap perempuan. akibatnya, meskipun Indonesia telah merdeka umumnya perempuan belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya institusi pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis;;. ketiga, umumnya perempuan belum memahami hak asasi mereka, termasuk hak asasi dalam bidang politik dan potensi-potensi yang tekandung di balik hak tesebut;;. kempat, pendidikan politik bagi perempuan belum diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan terencana.
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, komitmen partai yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses yang memadai bagi kepentingan perempuan dan masih kurang kendala struktural, nilai-nilai budya dan interprestasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriakhi.
Daftar perwakilan perempuan di parlemen 2009-2014
Komisi I
Hj. LILY CHODIDJAH WAHID Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
RACHEL MARYAM SAYIDINA Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Anggota
EVITA NURSANTY, M.Sc Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
DR.HJ. R..ADJENG RATNA SUMINAR SH.MH. Fraksi Partai Demokrat Anggota
DR. NURHAYATI ALI ASEGGAF,M.SI Fraksi Partai Demokrat Anggota
DRA. HJ .YOYOH YUSROH Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Anggota
SUSANINGTYAS NEFO HANDAYANI KERTAPATI Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat Anggota
Komisi II
HJ. MASITAH, S.Ag, M.Pd.I Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
DRA. HJ. IDA FAUZIYAH Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
NURUL ARIFIN, S.IP, M.Si Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
Hj. NUROKHMAH AHMAD HIDAYAT MUS Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
AGUSTINA BASIK, S.Sos. MM. MPd Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
HJ.MESTARIYANI HABIE, SH. Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Anggota
VANDA SARUNDAJANG Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
KASMA BOUTY,SE,MM Fraksi Partai Demokrat Anggota
RUSMINIATI, SH Fraksi Partai Demokrat Anggota
MIRYAM S. HARYANI, SE, M.Si Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat Anggota
Komisi III
HJ. DEWI ASMARA, SH Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
HJ. HIMMATUL ALYAH SETIAWATY SH.MH Fraksi Partai Demokrat Anggota
RA. EVA KUSUMA SUNDARI MA, MDE Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
KOMISI IV
INDIRA CHUNDA THITA SYAHRUL, SE, MM Fraksi Partai Amanat Nasional Anggota
HJ. ANNA MU'AWANAH,SE,MH Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Wakil Ketua
Hj. NURLIAH SH, MH Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
HJ.NANI SULISTYANI HERAWATI Fraksi Partai Demokrat Anggota
PEGGI PATRICIA PATTIPI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
SRI HIDAYATI Fraksi Partai Demokrat Anggota
KOMISI V (4)
DRA. YASTI SOEPREDJO MOKOAGOW Fraksi Partai Amanat Nasional Ketua
HANNA GAYATRI,SH Fraksi Partai Amanat Nasional Anggota
DRA. HJ. NORHASANAH, MSI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anggota
HJ. SADARESTUWATI, SP, M.MA Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
KOMISI VI
MIRATI DEWANINGSIH T, ST Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
NOURA DIAN HARTARONY Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Anggota
HAYANI ISMAN Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
PUAN MAHARANI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
LINDA MEGAWATI,SE Fraksi Partai Demokrat Anggota
DRA. LUCY KURNIASARI Fraksi Partai Demokrat Anggota
IDA RIA S, SE., AK Fraksi Partai Demokrat Anggota
KOMISI VII
WA ODE NURHAYATI, S. Sos Fraksi Partai Amanat Nasional Anggota
IRNA NARULITA, HJ, SE Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anggota
Dra. TRI HANURITA, MA, MM Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
Dra. Hj. WARDATUL ASRIAH Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anggota
Ir. ISMA YATUN Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
DEWI ARYANI HILMAN, S.Sos, M.Si Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
IR.H. ASFIHANI Fraksi Partai Demokrat Anggota
KOMISI VIII
Dra. Hj. CHAIRUN NISA, MA Fraksi Partai Golongan Karya Wakil Ketua
HJ.DEWI CORYATI,MSI Fraksi Partai Amanat Nasional Anggota
HJ. TETTY KADI BAWONO Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
Dra. Hj. SOEMINTARSIH MUNTORO, M.Si Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat Anggota
INA AMMANIA Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
Hj. RUKMINI BUCHORI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
HAYU R ANGGARA SHELOMITA Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
INGRID MARIA PALUPI KANSIL, S.SOS Fraksi Partai Demokrat Anggota
DRA. HJ. RATU SITI ROMLAH,M.AG Fraksi Partai Demokrat Anggota
HJ. ADJI FARIDA PADMO ARDAN Fraksi Partai Demokrat Anggota
ANITA JACOBA GAH,SE Fraksi Partai Demokrat Anggota
HJ. HERLINI AMRAN, MA Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Anggota
KOMISI IX
DR. RIBKA TJIPTANING Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ketua
Dra. MARDIANA INDRASWATI Fraksi Partai Amanat Nasional Anggota
CHUSNUNIA Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
Hj. GITALIS DWINATARINA Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Anggota
HJ. ENDANG AGUSTINI SYARWAN H. SIP Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
DRA.HJ.OKKY ASOKAWATI,S.PSI Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anggota
DRA.HJ.HERNANI HURUSTIATI Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
RIEKE DIAH PITALOKA Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
PUTIH SARI, SKG Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Anggota
Dra. EDDY MIHATI, M.Si Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
DR.DIAN A. SYAKHROZA Fraksi Partai Demokrat Anggota
DR. INDRAWATI SUKADIS Fraksi Partai Demokrat Anggota
DR. ZULMIAR YANRI, PHD, SP. OK Fraksi Partai Demokrat Anggota
DHIANA ANWAR,SH Fraksi Partai Demokrat Anggota
DR. NOVA RIYANTI YUSUF Fraksi Partai Demokrat Anggota
SITI MUFATTAHAH,PSI Fraksi Partai Demokrat Anggota
HJ. LEDIA HANIFA AMALIAH, SSI, MPSI.T Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Anggota
dr. VERNA GLADIES MERRY INKIRIWANG. Fraksi Partai Demokrat Anggota
KOMISI X
SELINA GITA, SE Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
Dra. Hj. HARBIAH SALAHUDDIN, M.Si Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
Dra. Hj. OELFAH A. SYAHRULLAH HARMANTO Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
DR. Ir. HETIFAH, MPP Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
PUTI GUNTUR SOEKARNO, S.Ip Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
Dra. SRI RAHAYU Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
RENI MARLINAWATI, DR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Anggota
ANGELINA SONDAKH, SE Fraksi Partai Demokrat Anggota
THERESIA E.E PARDEDE Fraksi Partai Demokrat Anggota
VENA MELINDA, SE. Fraksi Partai Demokrat Anggota
KOMISI XI
IRENE MANIBUY, SH Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
MEUTYA VIADA HAFID Fraksi Partai Golongan Karya Anggota
DR.SUMARJATI ARJOSO,SKM Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Anggota
SRI NOVIDA,SE Fraksi Partai Demokrat Anggota
INDAH KURNIA Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Anggota
YETTI HERYATI Fraksi Partai Demokrat Anggota
HJ. VERA FEBYANTHY Fraksi Partai Demokrat Anggota
BOKIRATU NITABUDHI SUSANTI,SE Fraksi Partai Demokrat Anggota
Achmad Budiman Sudarsono
Reporter Majalah Figur
Langganan:
Postingan (Atom)